Nowadays, people tend to give for a motive. Businessmen give others to gain popularity, to pump up their businesses. Others may give because they want to show the society that they are good men that care, though they are actually not. However, there are still some that do charity sincerely.
The World's Greatest Man (BAI FANG LI)
The World's Greatest Man is the most suitable title for a guy like this grandpa. I don't know you have ever read about this grandpa before. But, what he did really touches me, and I do want to tell the world about this. His name is Bai Fang Li, a 95-year old man.
Nowadays, people tend to give for a motive. Businessmen give others to gain popularity, to pump up their businesses. Others may give because they want to show the society that they are good men that care, though they are actually not. However, there are still some that do charity sincerely. The question is, how many of us have the sincerity that this old man has?
He was a three-wheel cart rider. He took people from a place to another place by that three-wheel cart and people would pay him for that. Carts like that still exist in Asia, but I think there is nothing like that cart anymore in western countries.
He lived a very simple life because he also didn't earn much from what he was doing. He rode the cart from morning until the days got dark. He ate from the food that he found in the dustbin. He lived in an old hut. He wore torn clothes. He might be able to buy worth eating food and worth wearing clothes from his earning. However, he didn’t want to do it. He chose to give all the money that he had to an orphanage. There were around 300 orphans lived in that orphanage.
He started to donate to the orphanage since he was 75 years old. It was in 1986. He was touched by a scene that he saw when he rode his three-wheel cart in a market one day. He saw a boy, who was around 6 years old, asking whether there were people who might need his help to lift the goods that they had bought. People who got helped by this boy would pay him for his help. Not long after that, he saw this boy looking for food in the dustbin. He thought to himself, why did this boy help others, gain quite some money but still dig the dustbin for food? At least, he could buy a piece of bread. He wondered, then he approached the boy, and asked him why he did the things he did. The boy said he didn’t want to sweat his earnings for buying some food for himself; he would use that money to buy food for his 3-year old and 4-year old brothers at his small hut. The old man then brought the little boy back to his little hut. He was touched to see the scene that 3 very little boy should dig in the rubbish to live, without any parents. After what he saw, this old man decided to bring those three children to an orphanage. When he arrived, he saw so many children living in there. He was once again, touched. He felt pity for them.
Since then, Bai Fang Li, did what that little boy ever did, he didn’t buy food and clothes, he ate from what he found in the dustbin. He gave all the money he got to the orphanage. He never expected anything from what he had done. He didn’t know which children that he had helped and raised from the money he had given. All the things he knew is to give all the money he got to that orphanage. That’s it.
Finally at the age of 91, he came to the orphanage, in a very weak condition. He gave his last donation to the head of the orphanage; it was 500 Yuan which was as much as 70 USD and told him that he couldn’t ride three-wheel cart anymore. He was too old and too weak for that already. The total that he had given in his lifetime was 350.000 Yuan which equals with 48,000 USD.
In 2005, this generous old man died because of lungs cancer that he suffered. Why I title this column as “World's Greatest Love”? Because of the sincerity of this old man, he was not from a wealthy family, or from a standard economy family, but he could give all he got to help those children whom he never knows who.
Some of us probably just do charity when we think we have more. But this old man gave though he had much less than what we have. His generosity must be a big kick for us who are still too selfish, too self centered. If he could do it, why couldn't we?
Honestly, I feel ashame because of him. He was very old already, and capable of doing that kind of thing, he was able to put away all his selfishness, and did everything for all those children he never knew before. I felt ashame because I think that I get more than what he got, but he had bigger heart than mine. He was quite old already when he started doing that, why I don’t start to share what I got since I am lot more younger than he was at the first time he did it?
Now that he was gone, I wonder if there is someone like him in the world nowadays, in the world full of selfishness and self centered individuals.
My fellow friends, after reading this, I suggest you to ask yourself, not,"How much have I given to my surroundings? How much have I helped those who in need?" but instead ask yourself,"How much that I haven't given to my surroundings? How much that I haven't shared yet?"
BAI FANG LI adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis……..
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.
___________________________________________________
Sahabat... adakah CINTA itu di dalam hati kita?
"Kamu tidak bisa memperoleh simpati semua orang dengan hartamu tetapi dengan wajah yang menarik (simpati) dan dengan akhlak yang baik." (HR. Abu Ya'la dan Al-Baihaqi)
No comments:
Post a Comment